Ibnu Khaldun berpendapat bahwa kebahagiaan seseorang akan timbul ketika mampu tunduk dan patuh mengikuti ketentuan Allah dan prikemanusiaan.
Imam al-Ghazali, ahli tasawuf yang begitu masyhur menjelaskan bahwa bahagia terletak pada keseimbangan antara tiga hal, kekuatan marah, kekuatan syahwat, dan kekuatan ilmu.
Kemudian, Hamka mengambil kesimpulan dari sabda Nabi mengenai kelebihan manusia dibanding makhluk lain untuk menafsirkan definisi bahagia.
Ketika Aisyah bertanya kepada Rasulullah, “Bukankah seorang manusia lebih dari manusia yang lain dari hal pahala lantaran amal ibadahnya?”
Rasulullah menjawab, ”Hai Aisyah, bukankah amal ibadah yang mereka kerjakan itu hanya menurut kadar akalnya? Sekadar ketinggian derajat akalnya, sebegitulah ibadah mereka dan menurut amal itu pula pahala yang diberikan kepada mereka.”
Kesimpulan yang diperoleh Hamka adalah derajat bahagia manusia sesuai dengan derajat akalnya, karena akal yang dapat membedakan antara baik dan buruk.
Akal dapat menerangkan segala pekerjaan serta menyelidiki hakikat dan kejadian segala sesuatu di dunia. Oleh karena itu, kesempurnaan menentukan kesempurnaan bahagia.***