Bambang menuturkan, pemberlakuan sanksi sebelumnya yaitu demosi, tanpa melakukan proses pidana akan mengkonfirmasi jika kepolisian memberi toleransi pada sikap koruptif anggota yakni tindak pidana pungli.
Baca Juga: Jelang Hadapi Burundi, Skuad Garuda Antusias dalam Pemusatan Latihan
Hal tersebut juga seolah menjadikan problem pungli sekadar persoalan etik internal. Sanksi demosi tersebut menurut Bambang juga menurunkan standar etik Polri terkait perilaku koruptif atau pungli.
Terjadinya hal itu menurut Bambang dikarenakan tiga hal yaitu pelanggaran dilakukan tidak oleh seorang, keuntungan penyalahgunaan mengalir ke banyak kantong, dan ketiga jika sanksi berat diberikan hal itu akan membuka kasus secara masif.
“Makanya sanksi diberikan relatif ringan. Dan tak menutup kemungkinan sudah ada janji dari pihak-pihak yang lebih kuat atau atasan terkait untuk meringankan sanksi bila tutup mulut,” ujarnya.
Baca Juga: Ditunggu sampai Akhir Maret 2023, Nasib Tenaga Honorer Ditentukan 1 Minggu Lagi!
Bambang melanjutkan, suatu hal yang aneh mengapa kegiatan pungutan liar (pungli) oleh anggota kepolisian tidak ditindak tetapi hanya mendapatkan pendisiplinan.
Selain itu, dia menyebut proses etik lima orang tersebut juga berlangsung sangat lama. Kasus pelanggaran hukum ini terjadi pada Juni 2022, tetapi untuk penanganan baru saja dilimpahkan oleh Divpropam Polda ke Ditpropam Polda Provinsi Jawa Tengah untuk ditindak.
Hal itu, kata Bambang, menghadirkan anggapan bahwa Polri bersikap permisif terhadap perilaku pungutan liar anggotanya. Kemudian upaya tangkap tangan menjadi ilusi belaka bahwa polisi serius memberantas pemerasan namun tidak memberikan sanksi pidana serius yang dapat menimbulkan efek jera.