Disebut Sangat Subjektif, Pasal tentang Santet dalam RUU KUHP Diminta Dikaji Ulang

23 Juni 2021, 10:58 WIB
Ilustrasi santet. /Pixabay/Magic Bowls

 

PR SOLORAYA - Jawade Hafidz selaku pakar Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang menilai pasal tentang santet dalam Rancangan Undang-Undang untuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) perlu dikaji ulang.

Hal itu karena pasal tersebut yang akan menjadi bagian dari RUU KUHP dinilai sangat subjektif dan tidak adanya penjelasan.

Dikutip Pikiranrakyat-Soloraya.com melalui Antara News pada 23 Juni 2021, Hafidz menyebutkan ketidakjelasan terhadap pasal tersebut terdapat pada rumusan Pasal 252 RUU KUHP.

“Rumusan Pasal 252 RUU KUHP sangat subjektif, obscure,” kata Hafidz.

Baca Juga: Link Nonton dan Sinopsis My Roommate is a Gumiho Episode 9, Tayang Malam Ini Pukul 20.40 WIB

Terkait dengan ketidakjelasan, Pasal 252 RUU KUHP akan diuraikan secara rinci sebagai berikut.

Dalam rumusan Pasal 252 ayat (1) berbunyi bahwa setiap orang mengaku mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberi harapan, menawarkan, maupun memberikan bantuan jasa kepada orang lain.

Perbuatan tersebut dinilai dapat menimbulkan penyakit, kematian, hingga penderitaan korban secara fisik maupun mental.

Akibatnya, pelaku yang bersangkutan akan dipidana melalui pidana penjara paling lama selama 3 tahun atau berupa denda sebesar Rp200 Juta.

Baca Juga: Pelatihan dan Sertifikasi Junior Web Developer BPPTIK Kominfo 2021 Dibuka, Berikut Syarat Pendaftarannya

Dalam rumusan Pasal 252 ayat (2) berbunyi apabila seseorang telah melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan maupun dijadikan sebagai mata pencaharian, maka pidananya akan ditambah 1/3 bagian dari pidana yang telah ditentukan.

Dalam penjelasannya, adanya rumusan pasal tersebut bertujuan untuk mengatasi keresahan masyarakat akibat praktik ilmu hitam.

Secara hukum, praktik ilmu hitam dinilai telah menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya.

Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta 23 Juni 2021: Papa Surya Semprot Nino yang Bakal Ceraikan Elsa saat Mengandung

Selain itu, adanya rumusan pasal tersebut juga bertujuan untuk pencegahan dini sekaligus mengakhiri main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet.

Menurut Pasal 184 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdapat lima bukti utama yang sah untuk membuktikan bahwa orang tersebut telah melakukan perbuatan pidana.

Bukti utama tersebut terdiri dari keterangan dari pihak saksi, keterangan dari pakar ahli, surat, petunjuk, dan keterangan dari pihak terdakwa.***

Editor: Nopsi Marga

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler