Dampak Jangka Panjang Terhadap Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

- 13 Desember 2021, 14:18 WIB
 ilustrasi kekerasan anak
ilustrasi kekerasan anak /Freepik

 

BERITASOLORAYA.com - Deputi Menteri Bidang Kesetaraan Gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lenny N. Rosalin memaparkan masih banyaknya kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak di Indonesia.

Hal ini disampaikan pada acara kelas entrepreneurship PIMTI yang bertemakan Pemberdayaan Perempuan Rentan untuk mendukung Indonesia Ramah Perempuan dan Layak Anak, yang dilaksanakan pada Rabu, 8 Desember 2021 lalu.

“Kalau kita lihat kekerasan terhadap perempuan dan anak, ini juga yang kenapa kita memberdayakan perempuan rentan karena kalau kita lihat datanya disini Ibu, Bapak sekalian satu dari tiga perempuan di Indonesia mengalami kekerasan,” kata Lenny.

Baca Juga: Inilah Mitos Atau Fakta Seputar Kanker yang Harus Kamu ketahui

Satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya.

“Apalagi kalau mereka kekerasannya adalah penelantaran, jadi meskipun hari ini dia (perempuan) kaya raya kemudian mengalami KDRT dan mengalami penelantaran, maka hari itu juga dia akan menjadi miskin dan tidak memiliki apa-apa,” ujarnya.

Lebih lanjut Lenny menyampaikan dari realitas tersebut lah yang menjadi fokus utama dari pemerintah untuk memberdayakan perempuan.

“Inilah bagian yang kita berdayakan adalah salah satu kelompok yang masuk ke dalam kelompok perempuan rentan,” ujar dia.

Sebagai informasi kasus kekerasan terhadap anak, Simfoni PPA, Kemen PPPA yang diolah pada 7 September 2021.

Januari hingga Desember 2020 mencatat 11.278 kasus kekerasan terhadap anak dengan jumlah korban 12.425 anak.

Dengan data 3.608 anak laki-laki, 8.817 anak perempuan, dengan indeks Januari hingga Desember 2020 yakni sebesar 22,7 persen, sebanyak 2.560 anak mengalami korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) mengalami kekerasan seksual, fisik, dan psikis.

Selain itu Lenny memaparkan bahwa anak-anak memiliki resiko lebih tinggi terhadap kasus kekerasan seksual.

“Kalau untuk anak dua dari tiga anak lebih besar lagi yaitu dua dari tiga,” kata dia.

Lebih lanjut Lenny menjelaskan bahwa para perempuan yang mengalami kekerasan seksual maupun KDRT berpotensi memiliki beban ganda terhadap anak dan keluarganya.

“Hampir semua pengasuhan beralih kepada perempuan sementara perempuannya tadi masih banyak pendidikannya rendah dan sektornya juga informal. Inilah yang membuat beban ganda bagi perempuan termasuk dalam kelompok rentan. Dia (perempuan) tidak hanya harus memberikan pemberdayaan bagi dirinya sendiri tetapi dia juga harus pertambahan dengan beban anak-anak yang juga menjadi korban,” jelasnya.

Lenny juga menambahkan anak-anak yang sudah bekerja dengan membantu orangtuanya mencari uang cenderung mengalami putus sekolah.

“Belum lagi anak yang bekerja karena harus membantu kedua orangtuanya hampir 10 persen dari anak-anak Indonesia yang artinya wajib belajar di kita juga belum dapat kita capai,” kata dia.

Menurutnya hal tersebut disebabkan lantaran anak yang masih bersekolah lalu dikawinkan oleh orangtuanya akan berdampak terhadap tingkat kesejahteraan keluarganya.

 “Ini juga termasuk perempuan rentan, ini anak-anak yang setelah kawin dia harus terpaksa bekerja karena menghidupi keluarganya,” kata dia.

Lenny memaparkan adanya perkawinan anak di usia sekolah juga memiliki pengaruh terhadap indeks pembangunan manusia di Indonesia.

“Ini perkawinan anak terjadi apakah karena dia korban kekerasan atau korban KDRT atau dia harus terpaksa dikawinkan. Ini isu yang sekarang menjadi sorotan dunia Ibu, Bapak sekalian karena dampak perkawinan anak ini akan mengganggu indeks pembangunan manusia kita juga,” kata dia.

Hal ini lantaran anak yang sudah dikawinkan pada usia sekolah akan mengalami putus sekolah dan berdampak pada kualitas kesehatan yang dapat memicu kematian ibu dan bayi.

Baca Juga: Fuji Jalan Pagi Dengan Gala, Lebih Ceria Dan Bahagia Saat Dekat Dengan Auntynya

“Anak yang dikawinkan pasti dia drop out (keluar) dari sekolah, wajib belajar pasti akan tidak tercapai dampaknya juga ke kesehatan, resiko terburuk adalah angka kematian ibu atau kematian bayi, ataupun angka resiko kesehatan lainnya, stunting,” tandasnya.***

Editor: Inung R Sulistyo

Sumber: Youtube Kemenparekraf RI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah