Penulis Kalis Mardiasih Turut Bersuara Atas Tuduhan Perzinahan dalam Permendikbudristek PPKS 30/2021 

- 11 November 2021, 15:56 WIB
Penulis yang juga aktivis perempuan Kalis Mardiasih dan suaminya Agus Mulyadi.
Penulis yang juga aktivis perempuan Kalis Mardiasih dan suaminya Agus Mulyadi. /Instagram @kalis.mardiasih
 
BERITASOLORAYA..com - Setelah permendikbudristek dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Anwar Makarim menyoal kekerasan seksual khususnya di lingkungan akademik yang seharusnya menjadi ruang aman dan nyaman dalam menuntut ilmu. 
 
Kalis Mardiasih, seorang penulis opini yang juga kerap kali membagikan pemikirannya terkait gender perspective ini turut membuka suara terkait tuduhan adanya legalisasi perzinahan yang dialamatkan pada Mendikbudristek dan permendikbudristek PPKS 30/2021. 
 
Kalis menerangkan terlebih dahulu substansi permendikbudristek PPKS 30/2021 yang sesuai dengan namannya antara lain adanya pencegahan, penanganan dan pemulihan. 
 
 
"Sesuai namanya, peraturan ini terdiri dari tiga substansi pokok: PENCEGAHAN kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi, PENANGANAN kasus, dan PEMULIHAN Korban. Setelah terbitnya dokumen acuan ini, diharapkan tiap-tiap kampus dapat menerjemahkannya ke dalam aturan kampus, yang terdiri dari: SOP penanganan kasus KS di kampus, Pusat layanan aduan kasus dan Pusat pendampingan psikologis korban," tulisnya dalam akun instagram pribadinya @kalis.mardiasih pada Rabu, 10 November 2021. 
 
Lebih lanjut, dia menjelaskan terkait frasa 'tanpa persetujuan korban' yang ditengarai memantik tuduhan adanya perzinahan atau melegalkan seks bebas. 
 
''Frase "tanpa persetujuan korban" menunjukkan bahwa setiap manusia punya hak untuk merasa aman dan menolak semua intervensi yang mengancam dirinya," tulisnya kembali. 
 
 
Menurut Kalis, 'tanpa persetujuan korban' berarti menitikberatkan pada vokal korban terkait situasi yang dialaminya dan berhak untuk percaya pada suara dan pengalaman korban. 
 
"Frase ini juga muncul dari pengalaman korban, bahwa hanya korban yang berhak menjelaskan situasi seperti apa yang membuat dirinya merasa terancam dan dalam bahaya. Satu prinsip penting untuk percaya kepada suara dan pengalaman korban," tambahnya. 
 
Selain itu, Kalis menyebutkan terkait tuduhan zina yang terdapat dalam permendikbudristek PPKS tersebut. 
 
"Tidak ada satu pun kata "Zina" dalam Permen PPKS, sehingga tuduhan negara melegalisasi Zina atau Seks Bebas itu tuduhan mengada-ada, kebohongan besar sekaligus fitnah besar," imbuhnya kemudian. 
Lebih jauh, Kalis mempertanyakan kelompok kecil yang menolak permendikbudristek tersebut. 
 
 
"Logika kelompok kecil yang menolak Permen ini adalah: "Zina (seks suka sama suka/saling setuju) itu dosa. Mengapa zina tidak dilarang dalam dokumen ini?"
 
Dalam kesempatan yang sama, Kalis memberikan jawaban bahwa tidak semua dosa dapat dipidanakan.
 
"Tidak semua dosa bisa dipidana. Islam melarang makan babi. Negara tidak mengatur larangan makan babi dalam pidana. Negara juga tidak mempidana orang yang tidak solat meski tidak solat itu berdosa menurut agama. Terapi sosial untuk Zina adalah lewat PENCEGAHAN, yang justru jadi mandat dalam Permen PPKS, yaitu adanya pengetahuan Kespro& Sexual education di kampus. Artinya, PermenPPKS MENOLAK zina/perilaku seksual beresiko," jawabnya sebagai poin pertama. 
 
"Logic hukum pidana adalah unsur pelaku & korban yg melapor karena menderita kerugian. Dalam konteks KS, korban menderita kerugian fisik, psikis, ekonomi, sosial dan politik. Sehingga negara wajib hadir untuk memberi perlindungan dan keadilan. Dalam pidana, korban mesti melapor secara langsung dan tak boleh diwakilkan karena hanya korban yang berhak memberi kesaksian perihal kerugian yang ia alami," tambah Kalis kemudian. 
 
 
Diketahui sebelumnya, Kalis mendukung permendikbudristek tersebut untuk disahkan dan ikut memasang foto di postingan instagramnya sebagai bentuk dukungannya terhadap permen ini. 
 
Dan menutup pendapatnya dalam postingan instagram tersebut, Kalis berpendapat negara tidak bisa menuduh pasangan berzina atau memaksa untuk melaporkan hal tersebut karena menyalahi Hak Asasi Manusia (HAM). 
 
"Negara tidak bisa bekerja dengan cara menggrebek/ menuduh pasangan berzina/ memaksa seseorang melaporkan kasus karena menyalahi Hak Asasi Manusia," tulisnya.***

Editor: Inung R Sulistyo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x