Bangunan rumah sakit Al-Shifa saat itu sudah dalam keadaan runtuh seperti rumah sakit lainnya di Jalur Gaza. Namun, para pengungsi saat itu meyakini bahwa Al-Shifa merupakan tempat yang lebih aman ketimbang harus menuju selatan ke Khan Younis.
Putusnya arus listrik membuat air bersih semakin sulit didapat karena tidak berfungsinya pabrik desalinasi. Di pagi hari, para pria hingga anak-anak akan mengantri dalam sebuah antrian yang panjang untuk mengisi kendi mereka dengan air asin.
Ghaniyah Haniyeh, seorang ibu berusia 41 tahun mengatakan, mereka tidak bisa mandi ataupun mencuci dengan benar. "Kami menggunakan air asin untuk mencuci pakaian dan piring kami dengan tangan," ungkap Ghaniyah seperti yang dikutip dari Aljazeera.
Ghaniya dan anak-anaknya hanya tidur di atas tanah, beralaskan dua selimut tipis. Keadaan tersebut sangat sulit bagi anak-anaknya, semangat mereka pun rendah.
"Mereka tidak memiliki kebersihan dasar dan Anda tidak bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan atau minta. Saya harap kita dapat kembali ke rumah kita dengan selamat. Kami hanya ingin hidup sehat yang normal,” ungkap Ghaniya.
Kakak ipar Ghaniya, yakni Imm Mohammed al-Mullah juga menjelaskan sulitnya situasi para pengungsi di Rumah Sakit Al-Shifa.