BERITASOLORAYA.com – Demi mewujudkan reformasi birokrasi tematik, fokus pemerintah salah satunya adalah program digitalisasi.
Penerapan digitalisasi pada pelayanan publik akan mengganti tenaga honorer dengan teknologi. Harapannya, pelayanan yang diberikan lebih murah, cepat, dan transparan.
Hijrahnya pelayanan pemerintah ke program digital tentu mengancam tenaga honorer yang bekerja di bidang-bidang terkait.
Nasib tenaga honorer atau non ASN pun hingga kini belum jelas. Padahal, merujuk PP Nomor 49 Tahun 2018, tenaga honorer akan dihapus pada tahun 2023.
Terkait program digitalisasi, Menpan RB Abdullah Azwar Anas terang-terangan menyampaikan bahwa tenaga honorer kategori tertentu akan dihapus besar-besaran.
Selain itu, Anas juga telah merancang alternatif solusi untuk menyelesaikan masalah honorer saat penghapusan berjalan.
Sejalan dengan rencana pengurangan tenaga honorer, Menpan RB juga telah mengantongi roadmap untuk peluncuran program digitalisasi.
Baca Juga: Akhirnya, Sinyal CPNS dan PPPK 2023 Diungkap PANRB Dalam Rakor Pengadaan ASN, Honorer Harap Bersiap
Adapun kategori honorer yang akan terdampak besar dari rencana digitalisasi adalah tenaga teknis. “Jika digitalisasi ini jalan, maka dalam waktu lima tahun akan mampu mengurangi tenaga teknis 30 persen,” ungkap Anas.
Dengan penerapan teknologi digital, tentunya tenaga manusia (honorer) tidak lagi diperlukan. Dampaknya, akan terjadi pengurangan honorer secara besar-besaran.
Pengurangan tenaga manusia yang digantikan teknologi bukan lagi hal baru. Saat ini, telah ada 800 juta pekerja yang digantikan teknologi.
Dalam rencana pemerintah pun digitalisasi sudah sering terdengar, mengingat salah satu fokus reformasi birokrasi tematik adalah digitalisasi administrasi.
RB tematik tersebut telah dijalankan selama 2 tahun ini agar fokus reformasi dapat dirasakan dan berdampak.
Dalam rapat kerja bersama DPR RI saat itu juga Menpan RB turut membahas mengenai alternatif penyelesaian tenaga honorer atau non ASN.
“Ada tiga solusi yang ditawarkan, yaitu tenaga non ASN diangkat seluruhnya menjadi ASN, diberhentikan seluruhnya, atau diangkat sesuai skala prioritas,” ujarnya.
Jika alternatif solusi pertama yang dijalankan yakni seluruh tenaga honorer diangkat menjadi ASN, tentu akan membutuhkan kekuatan keuangan negara yang tidak sedikit.
Selain itu, pemerintah juga harus menghadapi tantangan terkait kualitas dan kualifikasi tenaga honorer tersebut.
“Ada yang sangat bagus kualitas dan kualifikasinya. Tapi mungkin ada yang kualitasnya belum memenuhi syarat,” tambah Anas.
Untuk alternatif solusi kedua yakni tenaga non ASN yang diberhentikan semua, tentunya akan berdampak secara langsung pada pelayanan publik.
“Karena banyak ASN yang masa pensiunnya sudah tiba tapi belum ada yang menggantikan di sektor-sektor pelayanan publik terutama di sektor pendidikan dan kesehatan,” sambungnya.
Alternatif ketiga yaitu mengangkat tenaga honorer sesuai dengan prioritas. Pemerintah sendiri saat ini memprioritaskan pelayanan dasar yakni tenaga kesehatan dan guru.
“Prioritas ini kita rumuskan, kemudian kita lakukan langkah-langkah afirmasi bagi tenaga non ASN seperti pendidikan dan kesehatan,” kata Anas.
“Tapi bukan berarti yang lain tidak prioritas, karena penataannya dilakukan bertahap,” lanjutnya.***