Pengamat Kepolisian Sebut Kejanggalan dalam Hukuman Calo Bintara

24 Maret 2023, 20:56 WIB
Ilustrasi. Hukuman calo Bintara Polri 2022 dianggap ada kejanggalan /Pexels/Rosemary Ketchum/

BERITASOLORAYA.com - Terdapat kejanggalan di balik hukuman pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) yang diberikan pada lima calo penerimaan Bintara Polri tahun 2022 di wilayah Jawa Tengah. Kelima calo merupakan oknum polisi sebelumnya telah dijatuhi sanksi etik berupa demosi dan mutasi.

Pengamat kepolisian, Bambang Rukminto, dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), merasakan adanya kejanggalan tersebut.

Bambang ketika ditemui di Jakarta, Selasa, 21 Maret 2023 menyebutkan sanksi etik berupa demosi dan mutasi menjadi kejanggalan karena terlalu ringan untuk pelanggaran hukum semacam itu. Penentuan hukum semacam itu dapat menyakiti rasa keadilan publik.

Akan tetapi, ia juga menyebut hal itu tidak mengejutkan lagi, karena publik sudah 'kenyang' disuguhi tontonan terkait kejanggalan hukuman ringan yang diterima personel Polri yang melakukan pelanggaran hukum.

Baca Juga: Buka Bersama Pejabat dan ASN Ditiadakan, Menteri PANRB: Harus Patuh Ya!

Namun, Bambang mengapresiasi langkah yang ditempuh Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo untuk mengganti sanksi demosi pada lima personel tersebut. Kapolri Jendral juga meminta pemberlakuan hukuman PTDH sekaligus melanjutkan proses pidana yang berlaku.

“Tak perlu heran. Terpidana kasus 340 subsider 338 saja hanya diberi sanksi demosi, apalagi 'cuma' pungli yang sudah jadi rahasia umum,” ujar Bambang.

Bambang menuturkan, pemberlakuan sanksi sebelumnya yaitu demosi, tanpa melakukan proses pidana akan mengkonfirmasi jika kepolisian memberi toleransi pada sikap koruptif anggota yakni tindak pidana pungli.

Baca Juga: Jelang Hadapi Burundi, Skuad Garuda Antusias dalam Pemusatan Latihan

Hal tersebut juga seolah menjadikan problem pungli sekadar persoalan etik internal. Sanksi demosi tersebut menurut Bambang juga menurunkan standar etik Polri terkait perilaku koruptif atau pungli.

Terjadinya hal itu menurut Bambang dikarenakan tiga hal yaitu pelanggaran dilakukan tidak oleh seorang, keuntungan penyalahgunaan mengalir ke banyak kantong, dan ketiga jika sanksi berat diberikan hal itu akan membuka kasus secara masif.

“Makanya sanksi diberikan relatif ringan. Dan tak menutup kemungkinan sudah ada janji dari pihak-pihak yang lebih kuat atau atasan terkait untuk meringankan sanksi bila tutup mulut,” ujarnya.

Baca Juga: Ditunggu sampai Akhir Maret 2023, Nasib Tenaga Honorer Ditentukan 1 Minggu Lagi!

Bambang melanjutkan, suatu hal yang aneh mengapa kegiatan pungutan liar (pungli) oleh anggota kepolisian tidak ditindak tetapi hanya mendapatkan pendisiplinan.

Selain itu, dia menyebut proses etik lima orang tersebut juga berlangsung sangat lama. Kasus pelanggaran hukum ini terjadi pada Juni 2022, tetapi untuk penanganan baru saja dilimpahkan oleh Divpropam Polda ke Ditpropam Polda Provinsi Jawa Tengah untuk ditindak.

Hal itu, kata Bambang, menghadirkan anggapan bahwa Polri bersikap permisif terhadap perilaku pungutan liar anggotanya. Kemudian upaya tangkap tangan menjadi ilusi belaka bahwa polisi serius memberantas pemerasan namun tidak memberikan sanksi pidana serius yang dapat menimbulkan efek jera.

Baca Juga: Senjata Rahasia Francesco Bagnaia dan Tim Ducati Menjadi Juara 2022

“Alasan bahwa pelaku sudah mengembalikan uang yang dipungutnya pada calon peserta, tentu tak serta merta menghilangkan kasus pelanggaran pidana,” kata Bambang membeberkan.

Ia menambahkan, diskresi di Pasal 12 ayat (1) yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri, seharusnya dapat dimaknai sebagai kebijakan yang tegas.

Pejabat yang berwenang yakni Kapolri dapat segera mempercepat pemberhentian dengan tidak dengan hormat (PTDH) para oknum pelaku pidana, bukan mengulur waktu yang mana dapat merugikan marwah Polri juga negara.***

Editor: Syifa Alfi Wahyudi

Tags

Terkini

Terpopuler