Negara-negara di Eropa Berencana untuk Memerangi Kenaikan Harga Energi setelah Perang Rusia dan Ukraina

5 September 2022, 15:39 WIB
Ilustrasi sumber energi /Pixabay/ColiN00B

BERITASOLORAYA.com - Harga energi telah meroket setelah perang Rusia dan Ukraina, membuat beberapa negara di seluruh Eropa mempertimbangkan langkah darurat.

Diketahui bahwa harga energi telah naik drastis karena Eropa telah mencoba untuk melepaskan diri dari ketergantungan dengan energi milik Rusia menyusul invasi Moskow ke Ukraina pada akhir Februari.

Menanggapi kenaikan energi tersebut, Kanselir Jerman, Olaf Scholz mengumumkan serangkaian tindakan sehubung dengan ekspektasi bahwa biaya energi akan melonjak dalam beberapa bulan mendatang.

Baca Juga: Indonesia Kandidat Tuan Rumah Piala Asia 2023, Tim AFC Inspeksi Venue di Surakarta

Pemerintah Jerman akan mengeluarkan 65 miliar dolar atau setara dengan Rp969 triliun lebih untuk membantu mengatasi kenaikan harga energi tersebut.

Karena beberapa negara Eropa telah merancang langkah darurat untuk mempersiapkan musim dingin yang panjang setelah mengalami gangguan pasokan gas Rusia ke Eropa karena perang Ukraina.

Dua hari lalu, Moskow menutup pipa utama yang memasok gas ke Eropa tanpa batas waktu yang ditentukan.

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy telah mengatakan kepada Eropa untuk tetap menghadapi musim dingin yang sulit setelah Moskow menutup pipa Nord Stream 1.

Baca Juga: Simak! Berikut Pendidikan Minimal Honorer yang Bisa Ikut Seleksi PPPK 2022, Pelamar Guru, Nakes Hingga Teknis

Pipa Nord Stream 1 adalah saluran gas utama ke Jerman dan negara-negara G7 lainya yaitu, Kanada Prancis, Italia, Amerika Serikat, Jepang dan Inggris.

Hal tersebut memaksa negara-negara Eropa seperti Jerman untuk mencari pasokan energi alternatif di tempat lain.

Scholz mengatakan pemerintahnya telah merencanakan penghentian total pengiriman gas pada Desember,

Tetapi pemerintah Jerman berjanji bahwa negara tersebut akan berhasil melewati musim dingin, setelah membangun cadangan gas hingga 85% dari kapasitasnya.

Baca Juga: Ternyata Saat Pengangkatan Tenaga Honorer yang Lulus, Masih Bisa Dinyatakan Tidak Lulus, karena...

“Rusia bukan lagi mitra energi yang dapat diandalkan,” kata Scholz dalam konferensi pers di Berlin seperti yang dikutip BeritaSoloRaya.com dari Aljazeera.

Penghentian kerja sama antara Jerman dan Rusia dalam bidang energi ditujukan untuk melindungi bisnis dari melonjaknya inflasi, termasuk kenaikan tunjangan dan subsidi transportasi umum.

Alasan utama setiap negara adalah tidak ingin membuat rakyatnya jadi terbebani atas kenaikan harga energi tersebut.

Selain itu, Jerman akan mengalokasikan dana sekitar 12 hingga 13 miliar dolar atau setara dengan Rp179 triliun atau Rp193 triliun lebih setiap tahunya untuk mensubsidi renovasi gedung-gedung tua.

Baca Juga: Mantan PM Malaysia Najib Razak Ajukan Pengampunan Kerajaan dari Balik Jeruji Besi

Namun, setiap rumah tangga di Jerman diharuskan untuk membayar 500 dolar atau Rp7 juta lebih setahun untuk gas setelah retribusi ditetapkan untuk membantu perekonomian pemerintah menutupi biaya pengganti pasokan Rusia.

Retribusi tersebut akan mulai diberlakukan pada 1 Oktober 2022 dan akan berlangsung hingga April 2024. Sementara itu berbagai negara-negara di seluruh Eropa juga sedang mempertimbangkan tindakan serupa.

Di Italia, pemerintah baru-baru ini menyetujui paket bantuan senilai 17 miliar dolar atau seharga dengan Rp253 triliun lebih untuk membantu melindungi perusahaan listrik dan rakyatnya dari lonjakan biaya energi itu.

Sementara di Inggris tagihan energi untuk setiap rumah tangga melonjak 80 persen, menjadi rata-rata 3.549 pound atau setara dengan Rp60,7 juta.***

Editor: Anbari Ghaliya

Sumber: Aljazeera

Tags

Terkini

Terpopuler