Warga Pulau Rempang yang merupakan masyarakat adat telah menetap di sana turun-temurun sejak tahun 1834.
Namun, keberadaan mereka menjadi kendala bagi pemerintah dalam menjalankan proyek strategis tersebut.
Awalnya, relokasi dianggap sebagai solusi, namun kini ditolak oleh warga yang telah menjadikan pulau ini sebagai rumah mereka selama bertahun-tahun.
Keberadaan pemerintah di Pulau Rempang, dengan harapan relokasi akan membantu melancarkan rencana investasi.
Namun, warga Pulau Rempang yang sebagian besar adalah masyarakat adat Melayu tetap menolak. Mereka mencari keadilan atas hak mereka untuk tetap tinggal di tanah kelahiran mereka.
Meskipun relokasi bisa memberikan kompensasi, namun warga Pulau Rempang hanya mengharapkan keadilan.
Bagi warga Pulau Rempang, mempertahankan rumah tempat mereka tinggal adalah prioritas, dan warga berharap ada solusi yang adil bagi mereka.
Konflik di Pulau Rempang adalah pengingat bahwa di balik mimpi investasi besar, ada perjuangan dan penderitaan yang harus dihadapi oleh warga setempat.