Mau Hidup Bahagia? Coba Simak Kata para Ulama Berikut Ini

- 30 Maret 2023, 16:11 WIB
Ilustrasi orang yang sedang bahagia
Ilustrasi orang yang sedang bahagia /Instagram/@sinemart_ph/

BERITASOLORAYA.com – Semua orang ingin hidup bahagia. Bagi siapapun dan dimanapun, bahagia seakan menjadi tujuan dalam hidup. Mencari ilmu, berkumpul dengan keluarga, dan mengumpulkan harta. Berbagai usaha dilakukan guna memperoleh hidup bahagia.

Namun, pernahkah terpikirkan apa itu bahagia? Bahagia yang dirasakan masing-masing orang berbeda sebabnya, mengapa demikian? Pernahkah anda memikirkan mengenai itu?

Barangkali ketika anda sedih yang teramat, barulah anda akan terpikir sebenarnya apa makna bahagia dan bagaimana seharusnya untuk memperoleh bahagia.

Baca Juga: Hore, Guru ASN Full Senyum, Tunjangan Ini akan Cair Jelang Idul Fitri 2023. Sri Mulyani Ungkap Detailnya...

Dikutip BeritaSoloRaya.com dari buku berjudul Tasawuf Modern karya ulama dan penulis masyhur nusantara, Buya Hamka yang menggambarkan bahwa bahagia itu begitu bias. Berikut penjelasannya.

Setiap orang memiliki definisi bahagianya masing-masing. Ada begitu banyak bahagia yang terbentuk dari banyaknya sebab yang tak terhitung jumlahnya.

Buya Hamka menjelaskan ada seorang yang bahagia karena mempunyai harta kekayaan yang cukup. Karena jika kekayaan telah cukup, maka segala keinginan tentu bisa dicapai.

Orang kaya dimanapun ia tinggal, perkataannya akan didengar orang lain dan jika memiliki sedikit salah, mudah dimaafkan.

Baca Juga: Kemenparekraf Lakukan Upaya Ini Demi Tingkatkan Keselamatan Masyarakat pada Hari Raya Idul Fitri 2023

Sedangkan orang miskin yang tidak memiliki kekayaan akan merasa sengsara. Meskipun benar perkataan yang diucapkan, kebenaran itu tidak akan mudah diterima karena tidak memiliki tulang punggung. Tulang punggungnya adalah harta.

Gambaran lain bahwa bahagia terdapat pada orang yang dikenal baik oleh orang lain. Nama yang begitu masyhur dan dijadikan buah bibir orang lain, serta dipuji dari ujung ke ujung.

Orang seperti ini memandang ‘nama baik’ lebih berharga dari harta dan kekayaan. Pemikiran yang berbeda-beda itu menyebabkan keinginan untuk menyelidiki lebih jauh tentang bahagia.

Baca Juga: Dibuka, Pendaftaran Mudik Gratis PLN 2023, Tersedia 5000 Kuota untuk Keberangkatan Jabodetabek

Yahya bin Khalid al-Barmaki, seorang wazir terkenal ketika masa Bani Abbas memberikan pendapatnya mengenai bahagia. Ia mengatakan bahagia terdapat pada watak yang baik, ingatan yang kuat, akal yang bijaksana, memiliki ketenangan, dan memiliki kesabaran.

Seorang ahli syair bernama Hutai’ah mengungkap dalam syairnya tentang kebahagiaan:

"Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada mengumpul harta benda # Tetapi pada taqwa akan Allah itulah bahagia.

Taqwa akan Allah itulah bekal yang sebaik-baiknya disimpan # Pada sisi Allah sajalah kebahagiaan para orang yang taqwa."

Baca Juga: HEBOH! TPG Kemenag Cair sebelum Lebaran. Ternyata Ada Kriteria Khusus Penerima yang Harus Dipenuhi

Ibnu Khaldun berpendapat bahwa kebahagiaan seseorang akan timbul ketika mampu tunduk dan patuh mengikuti ketentuan Allah dan prikemanusiaan.

Imam al-Ghazali, ahli tasawuf yang begitu masyhur menjelaskan bahwa bahagia terletak pada keseimbangan antara tiga hal, kekuatan marah, kekuatan syahwat, dan kekuatan ilmu.

Kemudian, Hamka mengambil kesimpulan dari sabda Nabi mengenai kelebihan manusia dibanding makhluk lain untuk menafsirkan definisi bahagia.

Ketika Aisyah bertanya kepada Rasulullah, “Bukankah seorang manusia lebih dari manusia yang lain dari hal pahala lantaran amal ibadahnya?”

Baca Juga: Selamat, Kemenag akan Salurkan Tunjangan Khusus Guru Total Rp73 Miliar, Maksimal Diterima pada April 2023

Rasulullah menjawab, ”Hai Aisyah, bukankah amal ibadah yang mereka kerjakan itu hanya menurut kadar akalnya? Sekadar ketinggian derajat akalnya, sebegitulah ibadah mereka dan menurut amal itu pula pahala yang diberikan kepada mereka.”

Kesimpulan yang diperoleh Hamka adalah derajat bahagia manusia sesuai dengan derajat akalnya, karena akal yang dapat membedakan antara baik dan buruk.

Akal dapat menerangkan segala pekerjaan serta menyelidiki hakikat dan kejadian segala sesuatu di dunia. Oleh karena itu, kesempurnaan menentukan kesempurnaan bahagia.***

Editor: Anbari Ghaliya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x