Lagi, Israel Tunda Pemungutan Suara soal Aturan Larangan Bersatunya Keluarga Palestina

- 29 Juni 2021, 16:10 WIB
Ilustrasi pawai bendera Israel. Pemerintah Israel dikabarkan kembali menunda pemungutan suara terkait aturan larangan bersatunya keluarga Palestina.
Ilustrasi pawai bendera Israel. Pemerintah Israel dikabarkan kembali menunda pemungutan suara terkait aturan larangan bersatunya keluarga Palestina. /Pixabay/PublicDomainPictures

PR SOLORAYA - Pemerintah baru Israel telah menunda pemungutan suara tentang undang-undang kontroversial yang menghalangi keluarga Palestina untuk bersatu kembali dan hidup bersama.

Ini menandai kedua kalinya dalam dua minggu koalisi Israel menunda pemungutan suara pada Undang-Undang Kewarganegaraan Israel 2003, sebagaimana dikutip PikiranRakyat-SoloRaya.com dari Middle East Eye pada Selasa, 29 Juni 2021.

Diketahui ini adalah undang-undang darurat yang mencegah penduduk Tepi Barat dan Jalur Gaza mendapatkan tempat tinggal atau kewarganegaraan Israel melalui pernikahan.

Baca Juga: AS Umumkan Beri Bantuan Tambahan Rp594,5 Miliar untuk Penanganan Covid-19 India

Koalisi Perdana Menteri Naftali Bennett, yang terdiri atas berbagai partai dengan ideologi yang berbeda, menghadapi ujian signifikan yang ingin dieksploitasi oleh eks Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Beberapa anggota koalisi Bennett di Knesset mengatakan mereka tidak akan memilih pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan tersebut yang diperlukan untuk membuat undang-undang darurat tetap aktif.

Sebaliknya, kubu sayap kanan Netanyahu, yang memilih mendukungnya selama 18 tahun terakhir, mengatakan tidak akan menyelamatkan pemerintah dan mendukung pemungutan suara.

Baca Juga: Varian Delta Merajalela, Satgas Covid-19 IDI: Hitungan Detik Menginfeksi

Sebelumnya pada Minggu, 27 Juni 2021, setelah penundaan pemungutan suara, anggota oposisi Israel mulai berteriak "Pengecut, pengecut, pengecut!" saat dua anggota oposisi Knesset dikeluarkan dari sidang komite karena "perilaku nakal".

Ketika disahkan, Undang-Undang Kewarganegaraan Israel itu dikecam oleh beberapa orang sebagai tindakan rasisal dengan beberapa kritikus mengusulkan untuk menyebutnya "Hukum Pemisahan Keluarga Rasis", alih-alih nama yang umum digunakan "Hukum Reunifikasi Keluarga."

Aturan itu disahkan di Knesset pada puncak Intifada Kedua yang berlangsung dari tahun 2000 hingga 2005.

Baca Juga: Profil dan Nilai Pasaran Jordi Alba dari Transfermarkt, Dirumorkan Dijual Barcelona

Periode serangan militer Israel dilakukan terhadap warga Palestina di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza, serta serangan bunuh diri dan penembakan Palestina.

Ini dianggap sebagai undang-undang darurat, yang akan berakhir pada 6 Juli, dan mengharuskan satu bacaan di Knesset untuk memperbarui masa berlakunya untuk satu tahun lagi.

Undang-undang itu membuat hampir tidak mungkin bagi ribuan keluarga Palestina untuk untuk mendapatkan kewarganegaraan Israel atau tempat tinggal permanen melalui pernikahan.

Baca Juga: Simak Persyaratan Dokumen CPNS 2021 dan PPPK yang Harus Anda Persiapkan

Atas dasar keamanan, undang-undang tersebut juga memblokir warga Palestina-Israel atau warga Palestina dari Yerusalem Timur untuk meminta kewarganegaraan atau tempat tinggal bagi pasangan mereka dari negara-negara Arab seperti Yordania dan Mesir, atau negara lain mana pun yang dianggap bermusuhan dengan Israel.

Menurut kelompok hak asasi manusia, undang-undang itu melarang hampir 45.000 keluarga Palestina di dalam Israel dan Yerusalem Timur untuk bersatu kembali dengan pasangan dan anak-anak mereka.

Tujuannya adalah untuk menjaga agar jumlah warga Palestina yang memegang dokumen Israel tetap rendah.

Baca Juga: Usai Ketahuan Menikahi Transgender, Pria di India Ini Tuntut Istri dan Mertuanya

Perpecahan di partai sayap kanan

Kubu sayap kanan Netanyahu telah mendukung perpanjangan tahunan Undang-Undang Kewarganegaraan sejak 2003.

Namun, kali ini, pemimpin oposisi menolak seruan dari koalisi Bennett untuk menyelamatkan undang-undang tersebut dalam upaya untuk mempermalukan pemerintah baru.

Ayelet Shaked, Menteri Dalam Negeri Israel, mengimbau pihak oposisi untuk mendukung perpanjangan undang-undang tersebut jika mereka tidak ingin segera menaturalisasi 15.000 warga Palestina.

Baca Juga: Survei NGO Save the Children: Anak-anak Palestina Kehilangan Harapan dan Masa Depan

Jika undang-undang tersebut berakhir pada 6 Juli 2021 mendatang, Kementerian Dalam Negeri Israel yang dipimpin Shaked harus memblokir permintaan warga Palestina untuk kewarganegaraan atau tempat tinggal melalui pernikahan tanpa undang-undang untuk mengaktifkannya secara otomatis.

Yoav Kisch, seorang anggota Knesset dari partai Likud, mengatakan pada pekan lalu bahwa meskipun "hukumnya baik", intrik politik sedang dimainkan.

"Ada pertimbangan politik. Kami ingin menggulingkan pemerintah," kata Kisch.

Pekan lalu, Pemerintah Israel membatalkan pemungutan suara Komite Pengaturan tentang Undang-Undang Kewarganegaraan, dengan mengatakan bahwa mereka berkompromi dengan Partai-partai Daftar Arab Bersatu (Raam), Meretz, dan Partai Buruh yang keberatan dengan pemungutan suara yang mendukung.

Baca Juga: Sidak Pelaksanan Covid-19 di Solo, Gibran: Alhamdulillah, Kesadaran dan Antusiasme Warga Begitu Baik

Mazen Ghanayim, Walid Taha, dan Saeed Alkharumi dari Raam, sebuah partai Islam yang mewakili warga Palestina Israel, mengatakan mereka akan memberikan suara menentang undang-undang tersebut.

Mansour Abbas, pemimpin Raam, yang menjabat sebagai wakil menteri, dikabarkan mampu merundingkan bahasa hukum tetapi dia tidak bisa memaksakan posisinya pada anggota partainya.

Ibtisam Mara'ana, seorang anggota Knesset dari partai Buruh, dan Mossi Raz dan Esawi Freij, menteri kerja sama regional, dari partai Meretz mengatakan mereka tidak akan mendukung pemungutan suara untuk undang-undang tersebut.

Daftar Gabungan Arab di Knesset telah mengirim surat ke PBB yang menggambarkan undang-undang itu sebagai tindakan rasisme yang mencegah keluarga Palestina hidup bersama secara normal.***

Editor: Akhmad Jauhari

Sumber: Middle East Eye


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x